SELAYANG PANDANG
PONDOK PESANTREN TEMULUS
“TEMULUS” adalah sebuah nama yang penuh makna yang dibuat dan ditetapkan oleh sang penemu yang dengan tulus turut berjuang, bertahan dan melawan penjajahan sekaligus berjuang membentengi mental spiritual kaumnya dengan bimbingan amaliyah Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah Mujaddadiyyah. Beliau ialah simbah Kyai Darkun Imam Basri (wafat pada ....) beliau adalah santrinya mbah KH. Sholeh, Ndarat, Semarang (wafat pada 18/12/1903 atau 28 Ramadhan, 1321 H.)
Sejak wafatnya mbah Kyai Darkun Imam Basri, Temulus mengalami masa “fatroh” (transisi generasi) selama -+ 50 tahun. Pada akhirnya, pada tahun 1991 mbah Kyai Sodir Masyhuri Bin Kyai Darkun Imam Basri mewakafkan area Temulus, peninggalan dari sang ayah seluas 2945 M2 ditujukan untuk kemakmuran masjid dan atau pengembangan pendidikan agama Islam (Akta wakaf No. 11540 / 1991 tertanggal ; 20/12/1991) yang prosesi pewakafannya diwakili oleh bapak Rohmat, putra ke 2 mbah Kyai Sodir Masyhuri, yang kini berdomisili di Jatiasih, Bekasi. Tanah wakaf tersebut berupa tegal garing yang penuh dengan rumput ilalang, pohon jati dan mahoni tanpa ada bangunan apapun, hutan kampung yang terkenal “wingit” namun penuh aura.
Sejak tanggal diwakafkan, lokasi Temulus belum terkelola sesuai dengan tujuan sang Wakif (Bpk Rohmat atas nama mbah Kyai Sodir Masyhuri) karena belum adanya sosok yang siap bersusah payah “menghidupkan” kembali Temulus ; mengelola, mengembangkan dan mensyi’arkan Temulus sebagai bumi santri dan sentral Tarbiyah Islaamiyyah. Kemudian, Bapak Rohmat atas nama mbah Kyai Sodir Masyhuri meminta bantuan, kerja sama kepada beberapa tokoh masyarakat untuk menindak lanjuti tujuan pewakafan tersebut di atas serta usaha mencari sosok tepat yang mampu dan terpanggil untuk mengelola “wana wakaf” Temulus agar sesuai dengan harapan dari wakif. Beberapa tokoh tersebut antara lain ialah :
1. Bp. Drs. H. Umar Santoso, Banaran, Sambung Macan2. Bp. Drs. Turmudzi, Kedungombo,Kedungharjo
3. Bp. Drs. Subahadi, Ganggang, Mantingan
4. Bp. Syamsul Ma’arif, Temulus
5. Bp. Humaidi, Kedungombo,Kedungharjo
6. Bp. Parmuji, Temulus
Dan beberapa tokoh masyarakat Kedungombo, Kedungharjo lainnya.
Dengan wasilah bapak Drs. Turmudzi dan Bpk Drs. H. Umar Santoso serta Bpk. Subahadi atas nama pihak wakif yaitu ; Simbah Kyai Sodir Masyhuri sekeluarga, saya (Al-faqiir Ahmad Ulinnuha Rozy) di restui oleh ayah, ibu dan guru saya (Syaikhinaa Romo KH. Muhammad Hanafi, Kudus) untuk memenuhi “panggilan dakwah” ke Temulus pada hari SENIN (Pahing), Tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1417 H. / 21 Juli 1997 M. Ketika itu saya berusia 26 Tahun dan baru “boyong” dari Pesantren terakhir saya, yaitu : Pondok Pesantren “Al-Balagh” Bangilan, Tuban, Ta’alluman dan Tabarrukan kepada Syaikhinaa Romo KH. Misbah Musthofa (Pamannya Gus Mus).
“TEMULUS” kala itu (tahun 1997) adalah berupa kebun yang penuh dengan rumput ilalang dan pepohonan, benar-benar sebuah “Wana” yang aroma “kewingitannya” sudah semerbak tercium tajam saat saya baru pertama kali menginjakkan kaki. Bismillah dan Lillah serta dengan dukungan semua komponen masyarakat, saya menyatakan siap berjuang, berkhidmah dan mengabdikan diri pada Agama dengan memberdayakan “wana wakaf” Temulus agar kelak menjadi sentral kegiatan kegiatan pemberdayaan ummat dalam bidang pendidikan,keagamaan dan sosial, semata mata “Libtighaa’i wajhillah wa Li-i’Laa-i Kalimaatillah”.
Pada hari itu kedatangan saya bersama keluarga dan di ikuti oleh 15 santri serta para wali santri di sambut dan di terima dengan penuh hormat, khidmat, ta’dzim dan haru oleh dua sesepuh Temulus yaitu ; Simbah Kyai Masyhudi Bin Kyai Darkun Imam Basri dan Simbah Kyai Sodir Masyhuri Bin Kyai Darkun Imam Basri (Wakif), para pengurus Ta’mir Masjid “Sabilal Muttaqiin” Temulus, keluarga wakif, Kepala desa Kedungharjo, tokoh masyarakat dan warga masyarakat Temulus, Kedungombo ; dengan upacara penyambutan yang sederhana tetapi penuh dengan penghormatan dan suka cita yang tulus. Acara penyambutan dan penghormatan di serambi masjid “Sabilal Muttaqiin” saat itu sekaligus juga peresmian berdirinya Pondok Pesantren dengan nama “Daarul Mukhlishiin” yang di resmikan langsung oleh mbah Kyai Sodir Masyhuri dan di berkahi do’a oleh mbah Kyai Masyhudi.
Walaupun saat berdiri dan peresmian pondok pesantren tersebut belum ada satupun unit bangunan pesantren sebagai tempat tinggal saya bersama 15 santri dari Demak. Oleh para pengurus (yaitu bpk Drs.H. Umar Santoso wa a’waanih) saya dan para santri untuk sementara di titipkan, ditempatkan di rumahnya bpk Syamsul Ma’arif Bin Kyai Sodir Masyhuri Temulus dan serumah dengan beliau sekeluarga. Ketika itu di rumah bpk Syamsul juga belum di siapkan kamar kamar untuk tempat tinggal santri, baru ada 1 kamar kosong yang kemudian di persilahkan khusus untuk saya, sementara para santri pada hari hari pertama masih belum tinggal di kamar, tidurnya masih di serambi Masjid. Pada hari hari berikutnya baru di buatkan 3 kamar darurat untuk para santri. Alhamdulillah, meski segalanya terbatas dan belum dipersiapkan, -berkat empati dan simpati warga Temulus,Kedungombo serta kekuatan niat, tekad dan semangat kami akan terwujudnya pesantren sebagai basis syi’ar Agama- Allah Swt.memberikan kekuatan lahir dan batin di dalam menjalani kehidupan pesantren “Ngenger’ (nunut) tersebut hingga 4 bulan lamanya.
Walaupun Pesantren “Daarul Mukhlishiin” Temulus pada 4 bulan pertama masih “Mager sari”, nunut di dalam rumahnya bpk Syamsul Ma’arif, namun “ruh” pesantren dan jiwa kesantrian santri sejak awal sudah wujud, hidup dan tertanamkan, yaitu dengan berjalan aktifnya aktifitas proses belajar dan mengajar ala pesantren, ngaji, program program ubudiyyah mulai Shubuh s/d. Pukul 22 ; 00 setiap hari selain hari Selasa dan Jum’at. Dengan pengajar serta pengurus hanya saya seorang diri. Demikian pula adab-adab kesantrian yang lain, dan semuanya berjalan secara terprogram tertib dan bertata tertib. Salah satu buktinya adalah pada bulan Sya’ban 1417 H. (baru 5 bulan berjalan) sudah menyelenggarakan Haflah Akhir Sanah Perdana dalam bentuk sangat sederhana hanya bersama masyarakat Temulus, Kedungombo. Dan sebagai bukti atas kesungguhan kami bersama para santri di dalam melaksanakan program program pendidikan ala pesantren di masa sulit itu adalah berhasil mewisuda seluruh santri yang berjumlah 15 atas prestasi suksesnya Muhafadzoh Imrithi (Hafalan kitab ilmu tata bahasa arab ; Mandzumah Imrithie sejumlah 254 bait). Sungguh prestasi yang mengharukan sekaligus membanggakan,di karenakan 15 santri perdana itu rata rata usianya 12 – 17 tahun dan baru pertama kali “mondhok” ; nyantri di pesantren, artinya, sebelumnya belum pernah mondhok dimanapun. Benar benar sebuah pengalaman pertama yang tidak terlupakan ; masih usia dasar, mondhok di pesantren yang sangat jauh dari kampung halaman, pesantrennya juga baru dilahirkan dengan proses kelahiran simbolis ; pesantren yang baru memiliki nama namun belum memiliki bentuk fisik. Mereka semua itu pun mondhok dengan biaya sendiri sendiri (dalam arti bukan gratis).. Subhaanallah.
Allahu Akbar, untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari harinya,para santri yang semuanya masih kecil kecil itu harus memasak sendiri –karena saat itu di Temulus belum ada warung yang menyediakan makanan-, perabotan, peralatan masak pun mereka membelinya sendiri,bahan bakar memasak kala itu masih menggunakan kayu bakar hasil dari mencari sendiri di lokasi “wana wakaf” calon pesantren Temulus dan sekitarnya. Bahkan tempat memasaknya pun bersifat darurat ; yaitu pinjam tempat di halaman belakang rumahnya ibu Ikromah. Untuk memenuhi kebutuhan mandi dan mencuci saat itu saya dan para santri “nunut” di kamar MCK pribadinya mbah Kyai Sodir Masyhuri yang tentunya amat sangat terbatas, sehingga pada saat “Kali sawur” sedang normal justru kami memilih ke kali (sungai) tersebut.
Empat bulan kemudian, tepatnya pada bulan Rajab 1417 H. / bulan Nopember 1997 M. Di mulailah “Mbabat Wana Wakaf” Temulus sebagai lokasi Pondok Pesantren “Daarul Mukhlishiin” Temulus dengan partisipasi yang luar biasa aktif dari warga masyarakat Temulus, Kedungombo. Sungguh, peran warga kala itu merupakan spirit bagi kami yang tidak ternilai selaras dengan nama Pesantren yang di tetapkan, yaitu “Daarul Mukhlishiin” (Rumahnya orang orang yang ikhlas).
Yang tidak terlupakan adalah, “Mbabat Wana Wakaf” pada pertengahan bulan Rajab 1417 H. tersebut sebenarnya lebih cepat dari waktu yang direncanakan oleh pengurus. Sebab, ternyata (tanpa sepengetahuan saya) percepatan itu atas desakan sebagian masyarakat yang secara langsung mendengar keluhan dari sebagian santri dan dari pihak shohibul bait setelah 4 bulan lamanya – dengan segala keterbatasan dan kekurangan - menjalani kehidupan bersama dalam satu rumah yang berkeluarga. Gayung pun bersambut, para pengurus segera merespon positif keluhan santri dan desakan warga tersebut dengan gerakan kerja bakti membersihkan dan menyiapkan lokasi calon bangunan 1 unit asrama tempat tinggal saya bersama 15 santri. Agar asrama tersebut bisa segera terwujud maka sebagian pengurus yang lain bergerak mencari rumah kampung sederhana untuk dibeli dan direlokasi ke Temulus menjadi bangunan Pondok Pesantren pertama. Usaha tersebut dimudahkan oleh Allah dengan mendapatkan rumah kampung yang sudah cukup tua di dusun Bulak Timun, Tambakboyo seharga Rp. 800.000,-. Semangat warga sungguh sangat luar biasa, setelah mendapatkan rumah kampung tersebut dan telah di beli oleh pengurus, warga pun segera bergerak, kerja bakti memindahkan rumah itu dari Bulak Timun ke Temulus. Allahu Akbar, hanya dalam tempo kurang dari seminggu rumah itu sudah bisa saya huni bersama para santri meski apa adanya di tambah sedikit perbaikan dengan lantai “peluran”. Meskipun hanya baru rumah kecil yang sangat sederhana sekali tanpa fasilitas yang lain (belum ada sumur,kamar mandi,WC dan dapur), para santri pun tak sabar ingin segera menempati, menghuni rumah “surga”nya sendiri, maka -tanpa komando- para santri segera mengemasi barang barangnya kemudian “boyongan” dari rumahnya bpk Syamsul Ma’arif ke pondokan mereka sendiri sambil memekikkan kalimat “MERDEKA..!” berulang dan bersahut sahutan. Itulah yang kala itu membuat air mataku tak terbendung berlinangan bahkan tangis sesenggukan pun tak mampu saya tahan saat menyaksikan dan mendengar pekik “Kemerdekaan” para santri sambil bergegas setengah berlari saking gembiranya sudah di bangunkan “rumah” sendiri yang masih sangat banyak kekurangannya.beberapa hari kemudian,satu persatu fasilitas MCK plus dapur “ala kadarnya” pun mulai di pikirkan dan di adakan.
Itulah saat saat yang tidak bisa saya lupakan sepanjang zaman, mengenang peristiwa itu sungguh mengharukan sekaligus membanggakan. 15 santri perdanaku itulah santri santri perintis, pejuang, berjiwa kuat dengan tekad yang luar biasa besar, merekalah saksi hidup sejarah yang saya ajak berduka,bersusah payah,berjuang mempertahankan hidup dan kehidupan Pondok Pesantren “Daarul Mukhlishiin” Temulus. Sungguh,saya yakin Pesantren ini niscaya menjadi “Jariyah” pula yang -tanpa di sadari- ternyata nilai nilai dan pahalanya juga tercatat dan terkirim untuk mereka. Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.
Ibarat sebuah “bibit atau tanaman”, saya di Temulus ini pada awwal mulanya adalah di “tanam”, yang mustinya di rawat, disiram, dipupuk dan di “pagari” agar dapat, cepat, tepat tumbuh sehat, baik, kuat, berkembang dan pada akhirnya berbuah. Namun Alhamdulillah proses itu tidak terjadi pada “bibit atau tanaman” ; diri saya, kecuali pada 2 (dua) tahun yang pertama. 2 (dua) tahun pertama itupun sang “bibit” tidak di rawat bersama, akan tetapi hanya di “rawat” ala kadarnya (alias tanpa akad) oleh 3 (Tiga) orang saja. Dan pada tahun yang ke 3 (tiga) hingga kini –dan insyaAllah semoga seterusnya– saya benar benar mandiri dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok untuk dapat bertahan hidup demi kehidupan dan kesejahteraan hidup saya, keluarga dan Pondok Pesantren Temulus ini. Di satu sisi, hal itu merupakan kenyamanan dan kemerdekaan batin yang tak terukirdan tak terukur. Akan tetapi, disisi lain, hal itu –terlebih bagi seorang pendatang baru seperti saya– sungguh merupakan perjuangan yang teramat berat, penuh duka dan nestapa yang benar benar membutuhkan anugrah kekuatan batin, kebulatan tekad dan kekokohan niyat yang tak berbanding. Tantangan, ujian, cobaan pun bertubi tubi menerpa dengan beraneka macam bentuk,ukuran dan model. Semata mata hanya karena Rahmat Allah Swt. Bila hingga kini dan seterusnya saya dan siapapun yang setia menjadi sahabat saya dalam memperjuangkan “Temulus” ini mampu mengemban berat dan mulianya amanah ini.
Alhamdulillah, dari tahun ke tahun, kami diberi kekuatan lahir dan batin oleh Allah Swt. untuk melalui segalanya dengan selamat dan terus berkembang, baik pesantrennya ataupun aset asetnya. Sungguh terngiang selalu hingga kini dan kapanpun pada dawuhnya Syaikhinaa wa murobbi ruuhinaa romo KH. M. Hanafi, Kudus ketika saya matur dan mohon izin,petunjuk serta arahan sebelum saya memastikan kesiapan hijrah ke Temulus. Beliau dawuh ; “Yo Lin...yo iku rizkimu”.
Pada pertengahan tahun 2000,(setelah saya gagal membangun rumah tangga dengan adiknya bpk Drs. H. Umar Santoso pada tahun 1999), oleh mbah Kyai Sodir Masyhuri saya di jodohkan dengan cucu beliau yaitu ; Neng Rina Nurviana Binti Bapak Rodhi. Dan bapak Rodhi sekalian ibu juga Neng Rina pun berkenan menyetujui, menerima serta merestuinya. Prosesi, pelaksanaan pernikahan saya dengan Neng Rina Nurviana di laksanakan pada hari Kamis malam Jum’at tanggal 27 Juli tahun 2000 atau 25 Rabi’ul Akhir tahun 1420 H. Di rumah bapak Rodhi, Kedungombo, Kedungharjo. Yang dalam akad nikah kami itu, wali nikah (bpk Rodhi) mewakilkan prosesi akad nikah kami kepada Romo KH. Abdul Wahid Zuhdi (Paman saya dari jalur ibu, beliau adalah Rois Syuriyah PWNU. Jateng, Perumus LBMNU – PBNU Pusat, dan Pengasuh PP. Al-Ma’ruf, Bandungsari, Grobogan, Jateng) dan pembacaan Khutbah Nikah serta do’a oleh KH. Masduqi Shidiq (paman saya dari jalur ayah, beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Teguhan, Paron, Ngawi). Alhamdulillah, berkah do’a restu semuanya, pernikahan kami berdua menjadi pernikahan yang penuh berkah, meski secara ekonomi kondisi kami jauh di bawah status “sejahtera”, karena saat itu memang masih serba kekurangan, namun Alhamdulillah –istri bisa menerima dengan tulus dan seutuhnya- situasi dan kondisi tersebut mampu kami jalani dengan sabar dan syukur dalam bangunan rumah tangga yang sakinah di atas “fondasi” mahabbah, mawaddah, rahmah serta amanah. Kemudian oleh Allah kami dikaruniai 4 (empat) buah hati. yaitu :
1. Ihda Nailissa’adah (Lahir 5 Juni 2001)2. Muhammad Aufal Wafa (Lahir 15 Agustus 2004)
3. Muhammad Nuril Anwar (Lahir 11 Pebruari 2009)
4. Muhammad Syafiq Hilmy (Lahir 23 Pebruari 2012)
Semoga semuanya menjadi generasi penerus “min ‘ibaadillah ashsholihiin”, generasi yang bermanfa’at bagi sesama dan semua, generasi yang mampu melanjutkan estafet perjuangan dan kepemimpinan “Li-i’laa-i Kalimaatillah allatii Hiya Al-‘Ulya” ini. Aamiin.
Kiranya kilas balik dan selayang pandang tentang asal usul ini cukup sebagai catatan sejarah yang patut dan harus dibaca, di ketahui, di kenang dan dihayati oleh semua santri dari generasi ke generasi, serta semua pihak yang berada dan terlibat dalam sistem Yayasan Budi Mulia Nurinnuha dan atau Pondok Pesantren “Daarul Mukhlishiin” Temulus ini, agar tidak salah arah karena menghargai sejarah dan agar tidak asal usil karena mengetahui asal usul. “Al-Fadhlu Lil-Mubtadi Wa-in Ahsana Al-Muqtadi” ; “Bagaimanapun,yang paling layak mendapatkan keutamaan tentu sang perintis, walaupun lebih maju sang penerus”. Demikian kata hikmah dari sebagian Ulama’.
Tidak ada komentar